Minggu, 30 September 2012

Ushul fiqh


Khash dan Aam bag.I


Khash atau khusus (الخَاصُّ  ) adalah suatu lafazh yang digunakan untuk makna tertentu dan tidak bisa digunakan untuk makna lain

Contoh lafazh - lafazh khash :

مُحَمَّدٌ   nama seseorang ), maka tidak bisa selainnya kita panggil dengan nama  مُحَمَّدٌ

رَجُلٌ  jenis ( manusia ) yaitu seorang laki-laki dewasa, sehingga tidak bisa اِمْرَأَةٌ ( perempuan ) kita sebut dengan kata رَجُلٌ

 إِنْسَانٌ   salah satu makhluq Allah yaitu manusia, maka  kata جِنٌّ ( jin ) tidak bisa dimasukan kedalam katagori إِنْسَانٌ

 العِلْمُ ( ilmu ) suatu lafazh yang menjelaskan makna tertentu yaitu lawan  dari kata الجَهْلُ 

 Bilangan, seperti : وَاحِدٌ  اِثْنَانِ  ثَلاَثَةٌ  عَشَرَةٌ  عِشْرُوْنَ مِئَةٌ أَلْفٌ   ( satu, dua, tiga, sepuluh, dua puluh, seratus, seribu dst )


Hukum khash

Khash adalah sesuatu yang jelas sehingga hukumnya adalah قَطْعِيٌّ ( qath’iy ) yaitu yang tidak mempunyai makna  lain, contoh :

فَمَنْ لََّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيّاَمٍ – المائدة 89

“ Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka ( kafaratnya ) berpuasalah tiga hari..” 
( Al-Maidah : 89 )

Kata tiga pada ayat di atas adalah lafazh khash dan hukum khash adalah qath’iy sehingga tidak bisa di kurangi atau ditambah dari bilangan tersebut 



وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌ, فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ – النساء 12

“ Dan bagimu ( suami-suami ) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak, jika mereka ( istri-istrimu ) itu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya..” ( Annisa : 12 )

Kata seperdua dan seperempat pada ayat di atas adalah lafazh khash yang tidak bisa diartikan selain dari bilangan tersebut


Sebagaimana yang telah kami sampaikan bahwa hukum Khash adalah qath’iy  dan tidak ada khilaf diantara ulama dalam hal ini, madzhab hanafiyah selalu menjadikan khash sebagai landasan hukum ketika berargumen dengan para ulama yang tidak sependapat dengan beliau, diantara contohnya dalam ayat :

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ – البقرة 228

“ Dan para istri yang diceraikan ( wajib ) menahan diri mereka ( menunggu ) tiga kali quru..” 
( Al-Baqarah 228 )

Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam lafazh tiga di atas, namun yang menjadi perbedaan pendapat adalah dalam lafazh quru yang bisa berarti haidh dan bisa juga berarti suci

Madzhab hanafiyah berpendapat makna quru adalah haidh sehingga tiga quru berarti menunggu tiga kali haidh

Ulama yang tidak sependapat dengan madzhab hanafiyah mengatakan bahwa makna dari quru adalah suci sehingga tiga kali quru berarti menunggu tiga kali suci

Madzhab hanafiyah berargumen bahwa tiga adalah suatu bilangan yang merupakan lafazh khash dan hukum khash adalah qath’iy sehingga tiga quru disini berarti tiga kali haidh karena kalau tiga quru diartikan tiga kali suci maka waktu yang harus ditunggu adalah lebih atau kurang dari tiga quru dan itu tidak dibenarkan karena hukum dari qath’iy tidak memiliki makna lain selain dari yang disebutkan yaitu tiga

( lihat Ushul Assarkhasi jilid 1 hal 128 dan kitab Syarh Almanar oleh Ibnu Malik hal 78 )

Penjelasan : ( pent )

Rasulullah saw melarang umatnya untuk mentalaq istri pada saat haid, jika seseorang hendak mentalaq istrinya hendaklah dia mentalaq pada saat sang istri berada pada masa suci, sebagai ilustrasi lingkaran di dibawah ini adalah masa suci seorang istri dan tanda panah adalah saat di talaq, maka ada 2 kemungkinan :

1. Jika saat di talaq itu dihitung satu masa suci, maka wanita tersebut hanya menunggu 2 masa suci plus beberapa hari saja ( tidak genap 3 masa suci )

2. Namun jika saat di talaq itu tidak dihitung satu masa suci, maka wanita tersebut menunggu 3 masa suci plus beberapa hari ( lebih dari 3 masa suci )

Sedangkan kata tiga dalam kalimat tiga quru' adalah suatu bilangan yang mana bilangan adalah lafazh khash dan hukum khash adalah qath'iy tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih, inilah yang dijadikan hujjah madzhab hanafiyah yang mengartikan kata quru' berarti haid





Alkhash atau khusus (الخَاصُّ  ) terbagi menjadi tiga bagian:

  1. Almuthlaq dan almuqayyad المطلق والمقيّد
  2. Al-amru   الأمر
  3. Annahyu  النّهي

1. Almuthlaq dan almuqayyad المطلق والمقيّد
Almuthlaq adalah lafazh yang menunjukan suatu benda/ orang, tunggal maupun jamak yang tidak terikat, artinya siapa atau apa saja bisa masuk ke dalamnya contoh lafazh :
رَجُلٌ    seorang lelaki dewasa, maka siapa saja yang bisa disebut seorang lelaki dewasa dapat disebut  رَجُلٌ dari daerah/ negara manapun dia
رِجَالٌ   beberapa orang lelaki dewasa.. idem
كِتَابٌ   buku, buku apapun dapat disebut  كِتَابٌ baik buku bermanfaat ataupun yang tidak bermanfaat

كُتُبٌ   buku-buku... idem

Almuqayyad adalah lafazh yang menunjukan suatu benda/ orang, baik berupa tunggal maupun jamak yang terikat, artinya tidak semuanya bisa masuk ke dalamnya contoh lafazh :
رَجُلٌ عِرَاقِيٌّ  seorang lelaki dewasa yang berasal dari Iraq, maka yang tidak berasal dari Iraq tidak bisa disebut رَجُلٌ عِرَاقِيٌّ
كُتُبٌ قَيِّمَةٌ   buku-buku yang bermanfaat, maka buku-buku yang tidak bermanfaat tidak bisa disebut كُتُبٌ قَيِّمَةٌ

Hukum muthlaq

Hukum muthlaq tetap tidak mengikat, artinya semua benda/ orang yang dapat dimasukkan kedalamnya, bisa disebut dengan lafazh tersebut (tidak spesifik) kecuali jika ada dalil lain yang mengikat atau menjadikannya muqayyad contoh :

وَالّذِيْنَ يُظَاهِرُوْنَ مِنْ نِّسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُوْدُوْنَ لِماَ قَالُوْا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مِّنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا – المجادلة 3

“ Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.” (Al-Mujadalah 3)

Kata رَقَبَة (seorang budak) adalah lafazh muthlaq sehingga yang diwajibkan adalah memerdekakan seorang budak, budak apa saja, baik muslim maupun kafir bagi suami yang menzihar istrinya kemudian ingin kembali kepadanya.



وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ أَزْوَاجًا يَّتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرِ وَّ عَشْرًا – البقرة 234

“ Dan orang yang mati diantara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari.  (Al-Baqarah : 234)

Kata أَزْوَاجًا istri-istri adalah lafazh muthlaq yang mencangkup istri yang sudah digauli dan istri yang belum digauli, masa idah mereka empat bulan sepuluh hari

Contoh dalil muthlaq yang kemudian berubah karena ada dalil lain yang menjadikannya muqayyad:

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوْصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ – النساء 11

“ Setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayarkan) hutangnya.”  
(Annisa : 11)

Kata وَصِيَّةٍ wasiat adalah lafazh muthlaq namun dalam sebuah hadits :

Dari Sa’ad bin abi waqqash ra berkata: ditahun haji wada  Rasulullah saw menjengukku ketika aku sedang menderita sakit parah, lalu aku berkata “Wahai Rasulullah SAW aku menderita sakit parah, aku memiliki harta dan tidak ada yang mewarisiku kecuali putriku satu-satunya, apakah aku sedekahkan dua pertiga dari hartaku? Kemudian Rasulullah saw menjawab: tidak, kemudian aku berkata: kalau begitu setengahnya, beliau menjawab: tidak, kemudian aku berkata: kalau begitu sepertiganya, kemudian beliau membolehkan dengan berkata: sepertiga pun sudah cukup banyak, kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik dari pada kamu meninggalkannya dalam keadaan miskin yang kemudian dia meminta-minta kepada manusia.”  
( HR.Bukhari dan Muslim )

Hadits diatas menjelaskan bahwa batas maksimal wasiat adalah sepertiga sehingga dalil dalam surat annisa 11 tidak lagi muthlaq namun berubah menjadi muqayyad dengan hadits di atas.

Hukum muqayyad



Hukum muqayyad adalah spesifik (bersifat khusus) sampai ada dalil lain yang menjadikannya muthlaq/ bersifat umum (tidak spesifik) contoh :



فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ – المجادلة 4



 “ Maka barang siapa tidak dapat (memerdekakan hamba sahaya), maka (dia wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut.”  (Al-Mujadalah 4)



Kalimat شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ dua bulan berturut-turut adalah muqayyad yang artinya harus berturut-turut, maka tidak dibolehkan jika orang yang menzihar istrinya tidak mampu memerdekakan budak berpuasa dua bulan dengan tidak berturut-turut



فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ – النساء 92



“ Maka hendaklah orang yang membunuh memerdekakan budak yang beriman.”  (Annisa 92)

Kalimat رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ budak yang beriman adalah muqayyad sehingga tidak dibolehkan bagi seorang muslim yang salah dalam membunuh, memerdekakan seorang budak kafir.

Contoh dalil muqayyad yang kemudian berubah karena ada dalil lain yang menjadikannya muthlaq :

di dalam alqur'an ketika menyebutkan ayat haramnya memakan babi, kalimat yang digunakan adalah daging babi ( lebih spesifik ) bukan babi secara muthlaq 

Al-An'am 145    لَحْمَ خِنْزِيْرٍ  


Al-Maidah 3     لَحْمُ خِنْزِيْرٍ

namun apakah yang diharamkan hanya dagingnya saja? sedangkan kulit, liur dan bagian lainnya tidak diharamkan?

diantara dalil yang dapat dijadikan rujukan adalah qiyas dan tingkatan qiyas yang tertinggi adalah qiyasul aula, jika daging yang tertutupi kulit dan lebih mulia dari air liurnya saja diharamkan, apalagi kulit dan liur itu sendiri yang tidak lebih mulia dari daging, sehingga maksud dari ayat diatas adalah haramnya memakan babi secara muthlaq.wallahu ta'ala a'lam..

Referensi : 
- Taisir ilmi ushulil fiqh Abdullah bin Yusuf Al-Judai'
- Alwajiz fii ushulil fiqh Dr.Abdulkarim Zaidan
- Halaqah ilmiyah bersama Syaikh Abdullah Abbas Alhadrami di Univ.Al-Iman Yaman


1 komentar:

  1. Jazakallhu Khairan atas materinya yang diatas cukup..jelas.. dan bermanfaat...

    BalasHapus